Teori Kritis dan Sosiologi Kritis

Rangkuman Teori Kritis dan Sosiologi Kritis

Berpikir kritis adalah berpikir secara dialektis, berpikir dialektis adalah berpikir secara totalitas. Totalitas bukan berarti semata-mata keseluruhan di mana unsur-unsurnya yang bertentangan berdiri sejajar. Berpikir  berpikir dialektis adalah berpikir dalam perspektif empiris historis antara kesatuan teori dan praksis, namun pengertian teori dan praksis ini sering menjadi persoalan).
Istilah teori kritis pertama kali ditemukan Max Hokheimer pada tahun 30-an. Awalnya teori kritis berarti pemaknaan kembali gagasan-gagasan ideal modernitas berkaitan dengan nalar dan kebebasan. Pemaknaan ini dilakukan dengan mengungkap deviasi dari gagasan-gagasan ideal tersebut dalam bentuk saintisme, kapitalisme, industri kebudayaan, dan institusi politik borjuis.Teori Kritis juga  merupakan salah satu dari teori sosiologi, yang dikenal dengan teori kritik masyarakat. Teori ini bermaksud untuk mengubah masyarakat baik secara ontologis, epistemologis maupun aksiologis. Teori kritis secara dialektis merupakan perkembangan lanjut dari teori tradisional. Teori kritis dikaji melalui dialektika antara teori kritis dengan teori tradisional, di samping itu ia juga bermaksud membongkar kedok-kedok teori tradisional.
Karl Marx dan generasinya menganggap Hegel sebagai orang terakhir dalam tradisi besar pemikiran filosofis yang mampu ”mengamankan” pengetahuan tentang manusia dan sejarah. Namun, karena beberapa hal, pemikiran Marx mampu menggantikan filsafat teoritis Hegel. Menurut Marx, hal ini terjadi karena Marx menjadikan filsafat sebagai sesuatu yang praktis; yakni menjadikannya sebagai cara berpikir (kerangka pikir) masyarakat dalam mewujudkan idealitasnya. Dengan menjadikan nalar sebagai sesuatu yang ’sosial’ dan menyejarah, skeptisisme historis akan muncul untuk merelatifkan klaim-klaim filosofis tentang norma dan nalar menjadi ragam sejarah dan budaya forma-forma kehidupan.
Dan dapat diartikan sebagai teori yang menggunakan metode reflektif dengan melakukan kritik secara terus-menerus terhadap tatanan atau institusi sosial, politik atau ekonomi yang ada. Teori kritis menolak skeptisisme dengan tetap mengaitkan antara nalar dan kehidupan sosial. Dengan demikian, teori kritis menghubungkan ilmu-ilmu sosial yang bersifat empiris dan interpretatif dengan klaim-klaim normatif tentang kebenaran, moralitas, dan keadilan yang secara tradisional merupakan bahasan filsafat. Dengan tetap memertahankan penekanan terhadap normativitas dalam tradisi filsafat, teori kritis mendasarkan cara bacanya dalam konteks jenis penelitian sosial empiris tertentu, yang digunakan untuk memahami klaim normatif itu dalam konteks kekinian.



Tujuan dan Karakteristik Teori Kritis

- Menghilangkan berbagai bentuk dominasi dan mendorong kebebasan, keadilan dan persamaan.
- Menggunakan metode reflektif dengan cara mengkritik secara terus menerus terhadap tatanan atau institusi sosial, politik atau ekonomi yang ada, yang cenderung tidak kondusif bagi pencapaian kebebasan, keadilan, dan persamaan.
Adapun ciri-cirinya ialah bahwa teori ini tidak sama dengan pemikiran filsafat dan sosiologi tradisional. Singkatnya, pendekatan teori ini tidak bersifat kontemplatif atau spektulatif murni. Pada titik tertentu, ia memandang dirinya sebagai pewaris ajaran Karl Marx, sebagai teori yang menjadi emansipatoris. Selain itu, tidak hanya mau menjelaskan, mempertimbangkan, merefleksikan dan menata realitas sosial tapi juga bahwa teori tersebut mau mengubah.
Pada dasarnya, esensi Teori Kritis adalah konstruktivisme, yaitu memahami keberadaan struktur-stuktur sosial dan politik sebagai bagian atau produk dari intersubyektivitas dan pengetahuan secara alamiah memiliki karakter politis, terkait dengan kehidupan sosial dan politik.

Macam-macam Teori Kritis

1. Rasionalitas Positif-Negative  (J.Hebermass)
"pemikiran Habermas menoleh kedalam dua hal, yakni disatu sisi kepada sistem dengan mekanisme dominasi dan distorsi yang diakibatkannya kepada dunia kehidupan, dan disisi lain kepada perumusan pemikiran untuk menciptakan tatanan yang lebih bermoral.merumuskan dua macam rasionalitas, yakni rasionalitas instrumental, yang merupakan bentuk rasionalitas yang membenarkan sistem penindasan oleh logika sistem administrasi dan ekonomi kapitalis untuk mencapai efiensi dan efektifitas sebesar-besarnya demi keuntungan yang bersifat strategik, dan rasionalitas komunikatif, yang berupaya mewujudkan penciptaan ruang publik kritis dan mempunyai potensi untuk mencapai emansipasi melalui komunikasi yang bebas dominasi dan setara.
2. Teori hegemoni  (Antonio Gramsci)
"Hegemoni adalah dapat diartikan sebagai suatu kondisi di mana kelas yang berkuasa mampu mengadakan kepemimpinan moral dan intelektual (moral and intellectual leadership).Gramsci menjelaskan bahwa hegemoni merupakan sebuah proses penguasaan kelas dominan kepada kelas bawah, dan kelas bawah juga aktif mendukung ide-ide kelas dominan.
3. Teori Ingatan dan Sejarah Masa Lalu Manusia, Walter Benjamin (1892-1940)
Menurut Benjamin, masa lalu dan masa kini memiliki hubungan sekaligus berada dalam sebuah konstelasi, bukan demi memiliki dirinya sendiri. Paham atau pemikiran Benjamin demikian muncul dari refleksi dirinya atas sejarah kehidupan manusia dalam bentuk kritik dirinya terhadap paham historisisme, yang juga secara khusus ia kenakan kepada diri Horkheimer yang mengatakan bahwa sejarah manusia adalah tertutup-closed.
4. Teori Keterpisahan Eksistensial (Erich Fromm)
"Fromm merumuskan keterpisahan eksistensial ini dalam kecemasan. Ia berusaha mengangkat perasaan cemas dan kekalutan yang dialami manusia bahwa mereka akan ditinggalkan oleh orang-orang yang mereka kasihi atau mereka akan lebih dulu meningglkan orang-orang terkasihnya.
5. Teori Tindakan komunikatif (Communicative Action Theory), J.Hebermas
Teori tindakan komunikatif menyatakan adanya situasi ideal (ideal speech situation) yang memungkinkan manusia melakukan komunikasi secara terbuka dan setara sebagai basis bagi terciptanya kesungguhan (sincerity), kejujuran (truthfulness) dan interaksi yang intelektual (intelligibility).
6. Public Opinion Theory (Walter Lippmann 1922)
Istilah “komunikasi massa” yang secara umum kita kenal, pada massa itu  belum dikenal, yang digunakan adalah istilah “public opinion”. Lippmann juga menyatakan bahwa peran media massa dalam membentuk opini public. Yang menjadi konsen Lippman adalah kebutuhan akan kebebasan media massa yang secara normative dan public yang terinformasikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar